Perbedaan Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah: Kajian Ringan oleh Seorang Santri

 


Bagi seorang penuntut ilmu, terlebih yang pernah duduk di pesantren dan belajar kitab-kitab aqidah klasik seperti Umm al-Barahin, Jawharat al-Tawhid, atau Aqidah al-Nasafiyah, pembahasan mengenai Asy’ariyah dan Maturidiyah bukanlah sesuatu yang asing. Keduanya merupakan dua madzhab teologi Islam Sunni yang menjadi pilar pemahaman aqidah mayoritas kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terutama di wilayah Syam, Turki, Afrika Utara, Asia Tengah, dan Nusantara.


Walaupun banyak orang mengira keduanya berbeda jauh, para ulama menjelaskan bahwa Asy’ariyah dan Maturidiyah sebenarnya berada dalam jalur yang sama, hanya memiliki beberapa perbedaan metode istidlal dan penekanan dalam argumentasi teologis.


Sebagai seorang santri, ketika mempelajari keduanya, kita merasakan bahwa perbedaan ini bukanlah pertentangan, tapi kekayaan intelektual dalam menjaga kehormatan akidah Islam dari penyimpangan pemikiran, terutama kelompok ekstrem rasionalis seperti Mu’tazilah ataupun kelompok literalis ekstrem.


Siapa Pendiri Dua Madzhab Ini?


Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H) di Irak, awalnya mengikuti Mu’tazilah lalu bertaubat dan membangun metodologi aqidah yang moderat.


Imam Abu Mansur al-Maturidi (d. 333 H) di Samarkand, seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang juga meluruskan pemikiran Qadariyah dan Jahmiyah di wilayah Asia Tengah.


Dua jalur ini berkembang sesuai reaksi terhadap tantangan intelektual di zamannya, sehingga wajar ada perbedaan metode dalam menyampaikan akidah.


Persamaan Utama Keduanya


Keduanya sepakat dalam prinsip-prinsip besar aqidah Ahlus Sunnah, seperti:


Allah ada tanpa bergantung pada tempat dan arah


Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk


Tauhid sifat dan tauhid af’al


Nabi harus maksum


Iman mencakup tashdiq (pembenaran) dengan hati


Maka, kalau diringkas dengan bahasa santri:

Yang satu tegas dan ringkas dalam dalil; yang satu mendalam dan luas dalam argumentasi.


Perbedaan Metodologis dalam Beberapa Masalah Akidah


Dalam studi pondok, ada beberapa poin yang sering disebut sebagai perbedaan, meski ulama menegaskan bahwa konteksnya lebih pada tafsir pemahaman, bukan pertentangan tauhid.


1. Definisi Iman


Asy’ariyah: iman adalah tasdiq bil-qalb (pembenaran hati), sementara amal adalah penyempurna iman tetapi bukan bagian hakikat iman.


Maturidiyah: iman adalah tasdiq dan juga iqrar bil-lisan (pengakuan dengan lisan).


2. Perbuatan Hamba


Asy’ariyah: menekankan konsep kasb (usaha manusia) dengan asal kekuatan dari Allah.


Maturidiyah: memberikan ruang logis lebih besar kepada peran ikhtiar manusia, namun tetap mengakui takdir mutlak Allah.


3. Penggunaan Akal dalam Aqidah


Asy’ariyah: akal tidak wajib mengetahui kewajiban syariat sebelum datangnya wahyu.


Maturidiyah: akal mampu mengetahui kewajiban beriman kepada Allah meskipun tanpa wahyu.


Walaupun begitu, keduanya tetap menegaskan bahwa syariatlah yang menetapkan hukum, bukan akal semata.


Pandangan Tiga Ulama tentang Perbedaan Ini

1. Imam al-Subki


Beliau menyebut bahwa perbedaan Asy’ariyah dan Maturidiyah hanya dalam cabang kecil, bukan pada pokok iman. Beliau berkata bahwa keduanya adalah dua saudara sejalan yang bertemu dalam aqidah Ahlus Sunnah.


2. Imam Ibn Abidin (Hanafi)


Dalam Radd al-Muhtar, ia menegaskan bahwa Maturidiyah dan Asy’ariyah sama-sama Ahlus Sunnah, dan menyebut berbedanya teks tidak mengubah hakikat kesamaan akidah.


3. Imam al-Ghazali


Al-Ghazali yang condong pada metode Asy’ariyah mengatakan bahwa jika seluruh madzhab Islam seperti keduanya, maka umat tidak akan berselisih dalam agama.


Pendapat-pendapat ulama tersebut menunjukkan bahwa perbedaan antara keduanya adalah rahmat ilmiah, bukan konflik teologis.


Kesimpulan


Sebagai seorang Muslim, mempelajari perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah mengajarkan kita tentang kedewasaan intelektual dalam memahami agama.


Keduanya bukanlah dua kubu yang bertentangan, namun dua metode yang saling melengkapi dalam menjaga akidah Islam dari penyimpangan.


Selama kita mengikuti jalur ulama, dengan adab dan rasa hormat, maka perbedaan seperti ini bukanlah sumber perpecahan—melainkan bukti bahwa Islam memiliki tradisi ilmiah yang kaya, mendalam, dan terpelihara.

Post a Comment