Bersedekah yang Paling Utama Diberikan Kepada: Panduan Prioritas Menurut Al-Qur’an dan Ulama

 

Bersedekah yang Paling Utama Diberikan Kepada Siapa?
Ilustrasi Sedekah

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling dermawan di dunia. Dalam beberapa laporan filantropi global, masyarakat Indonesia menempati peringkat teratas dalam hal kedermawanan individu. Data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) juga menunjukkan bahwa potensi zakat, infak, dan sedekah nasional mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Namun ironisnya, angka kemiskinan dan ketimpangan sosial masih menjadi persoalan yang belum sepenuhnya terselesaikan.


Salah satu problem mendasarnya bukan pada kurangnya sedekah, tetapi pada kurangnya pemahaman tentang prioritas sedekah. Banyak orang bersedekah dalam jumlah besar, tetapi tidak tepat sasaran. Ada yang memberi kepada pihak yang sebenarnya tidak membutuhkan, sementara orang-orang terdekat justru terabaikan. Ada pula yang bersedekah demi citra sosial, bukan demi keberkahan.


Islam tidak hanya memerintahkan untuk bersedekah, tetapi juga mengajarkan kepada siapa sedekah itu paling utama diberikan. Bahkan, Al-Qur’an dan Sunnah memberikan urutan prioritas yang jelas. Dengan memahami urutan ini, sedekah tidak hanya menjadi amal kebaikan, tetapi juga alat pemerataan, penguat keluarga, dan solusi sosial.


Menariknya, pembahasan sedekah sangat erat kaitannya dengan hari Jumat, hari terbaik dalam sepekan. Pada hari ini, umat Islam dianjurkan memperbanyak amal saleh, membaca ayat-ayat Al-Qur’an tertentu, dan meningkatkan kepedulian sosial. Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas secara mendalam bersedekah yang paling utama diberikan kepada, serta dilengkapi pandangan ulama tentang ayat-ayat yang biasa dibaca di hari Jumat, agar pembahasan ini utuh secara spiritual dan sosial.


Makna Sedekah dalam Islam


Secara bahasa, sedekah berasal dari kata ṣadaqa yang berarti benar atau jujur. Sedekah menjadi bukti kejujuran iman seorang hamba. Secara istilah, sedekah adalah pemberian sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dengan niat mencari ridha Allah, baik berupa harta, tenaga, ilmu, maupun bentuk kebaikan lainnya.


Dalam konteks artikel ini, sedekah difokuskan pada pemberian harta, karena di sinilah Islam memberikan aturan prioritas yang sangat rinci. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya mendorong empati, tetapi juga mengatur efektivitas empati tersebut.


Bersedekah yang Paling Utama Diberikan Kepada (Urutan Prioritas)

1. Orang Tua


Sedekah yang paling utama adalah kepada orang tua, terutama jika mereka membutuhkan. Memberi kepada orang tua bukan hanya sedekah, tetapi juga birrul walidain (bakti kepada orang tua).


Al-Qur’an sering kali menggandengkan perintah menyembah Allah dengan berbuat baik kepada orang tua. Ini menunjukkan bahwa membantu orang tua dengan harta adalah amal yang sangat besar nilainya.


Hikmahnya:


a. Menguatkan ikatan keluarga

b. Menghapus dosa durhaka

c. Menghadirkan keberkahan rezeki


2. Kerabat Dekat yang Membutuhkan


Setelah orang tua, sedekah paling utama diberikan kepada kerabat dekat yang berada dalam kesulitan ekonomi. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa sedekah kepada kerabat memiliki dua pahala sekaligus: pahala sedekah dan pahala menyambung silaturahmi.


Dalam praktiknya, banyak orang justru membantu orang jauh, tetapi membiarkan saudara sendiri dalam kekurangan. Islam mengoreksi pola ini.


Manfaat sosialnya:


a.  Mencegah kecemburuan sosial dalam keluarga

b. Menjaga kehormatan kerabat

c. Memperkuat solidaritas keluarga besar


3. Fakir dan Miskin


Fakir dan miskin adalah kelompok yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an ketika membahas infak dan sedekah. Fakir adalah mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa, sedangkan miskin memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan dasar.


Sedekah kepada fakir dan miskin adalah fondasi keadilan sosial dalam Islam. Dengan sedekah, jurang antara kaya dan miskin dipersempit tanpa harus menumbuhkan kebencian kelas.


4. Anak Yatim


Anak yatim memiliki posisi istimewa dalam Islam karena kehilangan penopang utama kehidupannya. Menyantuni anak yatim bukan hanya soal memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga menjaga masa depan generasi lemah.


Rasulullah ﷺ bahkan menjanjikan kedekatan di surga bagi orang yang mengurus anak yatim.


5. Ibnu Sabil (Musafir yang Kehabisan Bekal)


Ibnu sabil adalah musafir yang kehabisan bekal di perjalanan. Meskipun di kampung halamannya ia tergolong mampu, dalam kondisi tersebut ia berhak menerima sedekah.


Hal ini menunjukkan bahwa Islam memandang kebutuhan berdasarkan kondisi aktual, bukan semata status sosial.


6. Kepentingan Umat dan Dakwah


Sedekah juga sangat utama jika diberikan untuk kepentingan umum umat Islam, seperti pendidikan, dakwah, pembangunan masjid, dan bantuan kemanusiaan. Sedekah jenis ini memiliki dampak jangka panjang karena manfaatnya dirasakan banyak orang.


Keterkaitan Sedekah dengan Hari Jumat


Hari Jumat adalah momentum terbaik untuk memperbanyak amal saleh, termasuk sedekah. Banyak ulama menyebutkan bahwa sedekah di hari Jumat memiliki keutamaan waktu, karena dilakukan pada hari yang paling mulia.


Selain sedekah, hari Jumat juga dikenal dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an tertentu, terutama yang mengingatkan tentang dunia, akhirat, dan tanggung jawab sosial. Di sinilah hubungan antara sedekah dan ayat-ayat Jumat menjadi sangat kuat.


5 Pendapat Ulama tentang Ayat yang Dibaca di Hari Jumat

1. Imam An-Nawawi (w. 676 H)


Dalam kitab Al-Adzkar, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa membaca Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat tertentu seperti Surah Al-Kahfi, sangat dianjurkan di hari Jumat. Menurut beliau, ayat-ayat ini berfungsi menghidupkan hati dan memperbarui iman mingguan seorang Muslim.


Referensi:

An-Nawawi, Al-Adzkar, Dar al-Fikr.


2. Ibnu Katsir (w. 774 H)


Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat-ayat yang dibaca di hari Jumat, khususnya Al-Kahfi, mengandung peringatan tentang fitnah dunia dan harta, sehingga sangat relevan dengan perintah bersedekah dan tidak terikat pada dunia.


Referensi:

Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Dar Thayyibah.


3. Imam Al-Ghazali (w. 505 H)


Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan bahwa hari Jumat adalah hari muhasabah, di mana seorang Muslim seharusnya merenungi hubungannya dengan Allah dan manusia. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada hari Jumat, menurut beliau, harus berbuah pada amal sosial seperti sedekah.


Referensi:

Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Dar al-Ma’rifah.


4. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (w. 751 H)


Dalam Zadul Ma‘ad, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa hari Jumat memiliki keistimewaan dalam waktu dan amal. Ayat-ayat yang dibaca di hari Jumat berfungsi melembutkan hati, sehingga mendorong seorang Muslim untuk lebih mudah bersedekah dan peduli kepada sesama.


Referensi:

Ibnul Qayyim, Zadul Ma‘ad, Muassasah ar-Risalah.


5. Wahbah Az-Zuhaili (w. 1436 H)


Dalam Tafsir Al-Munir, Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang sering dibaca di hari Jumat memiliki dimensi spiritual dan sosial. Ayat-ayat tersebut tidak hanya menguatkan iman individu, tetapi juga membentuk kesadaran keadilan sosial, termasuk dalam distribusi harta melalui sedekah.


Referensi:

Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Dar al-Fikr.


Penutup


Bersedekah yang paling utama bukan ditentukan oleh besar kecilnya nominal, tetapi oleh ketepatan sasaran dan keikhlasan niat. Islam telah memberikan panduan yang sangat jelas tentang siapa yang paling berhak menerima sedekah, mulai dari orang tua, kerabat, hingga kepentingan umat secara luas.


Ketika sedekah dilakukan dengan ilmu, terlebih lagi pada hari Jumat yang penuh keberkahan, maka sedekah tersebut tidak hanya mengubah kondisi penerimanya, tetapi juga membersihkan hati pemberinya. Inilah sedekah yang benar-benar hidup—mengalir di dunia dan kekal di akhirat.


Daftar Referensi


1. Al-Qur’an Al-Karim

2. An-Nawawi. Al-Adzkar. Beirut: Dar al-Fikr.

3. Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Riyadh: Dar Thayyibah.

4. Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

5. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Zadul Ma‘ad. Beirut: Muassasah ar-Risalah.

6. Wahbah Az-Zuhaili. Tafsir Al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr.

Post a Comment