Saya bukan ustaz. Bukan pula santri lulusan pesantren besar. Saya hanya orang biasa yang pernah berada di titik hidup yang bikin dada sesak setiap bangun pagi. Punya cita-cita, tapi jalannya buntu. Usaha ada, ikhtiar jalan, tapi rasanya seperti ada tembok transparan yang nggak kelihatan tapi susah ditembus.
Di fase itulah saya kenal lebih dekat dengan sholat hajat. Bukan sekadar tahu hukumnya, tapi benar-benar menjalankannya dengan harapan yang kadang rasional, kadang nekat. Dan dari pengalaman itu, saya belajar satu hal penting: waktu sholat hajat ternyata bukan cuma soal jam, tapi soal kondisi hati.
Awal Saya Mengenal Sholat Hajat
Awalnya saya kira sholat hajat itu semacam “jurus pamungkas”. Kalau hidup sudah mentok, baru dikeluarkan. Banyak orang juga begitu. Kita sering datang ke Allah ketika semua pintu manusia tertutup.
Saya pertama kali melakukannya bukan karena ceramah, tapi karena putus asa. Tengah malam, rumah sunyi, kepala penuh pikiran, dan hati capek. Saya sholat dua rakaat, baca doa seadanya, bahkan doa saya waktu itu belepotan. Tidak indah, tidak panjang. Tapi jujur.
Dan entah kenapa, setelah itu saya merasa lebih ringan. Bukan karena langsung dikabulkan, tapi karena ada rasa “didengar”.
Sebenarnya, Kapan Waktu Sholat Hajat?
Kalau bicara secara umum, sholat hajat bisa dilakukan kapan saja, selama bukan di waktu-waktu yang dilarang untuk sholat sunnah. Tapi dari pengalaman pribadi dan juga dari penjelasan para ulama, ada waktu-waktu yang terasa lebih “hidup”.
Saya pribadi paling sering melakukannya di malam hari. Bukan karena ikut-ikutan, tapi karena suasananya mendukung. Pikiran lebih jernih, distraksi sedikit, dan hati lebih mudah fokus.
Namun, para ulama berbeda pendapat soal waktu terbaik sholat hajat. Dan perbedaan ini justru memperkaya cara kita memahaminya.
Pendapat Pertama: Imam An-Nawawi – Sholat Hajat Fleksibel, Jangan Dipersulit
Imam An-Nawawi termasuk ulama yang pendapatnya cukup menenangkan. Dalam berbagai karyanya, beliau menjelaskan bahwa sholat hajat boleh dilakukan kapan saja, siang atau malam, selama bukan waktu terlarang.
Menurut beliau, sholat hajat itu bagian dari sholat sunnah mutlak. Artinya, tidak terikat waktu tertentu seperti sholat Dhuha atau Tahajud. Kalau seseorang punya kebutuhan mendesak, maka tidak ada alasan untuk menunda sholat hajat hanya karena menunggu malam.
Pendekatan Imam An-Nawawi ini sangat manusiawi. Beliau memahami bahwa hajat manusia tidak selalu datang rapi menunggu tengah malam. Kadang datang saat siang bolong, saat kita lagi kerja, atau bahkan di sela-sela kesibukan.
Saya pribadi sangat terbantu dengan pendapat ini. Pernah suatu hari, saya harus mengambil keputusan penting sebelum sore. Tidak mungkin menunggu malam. Saya sholat hajat di sela waktu Dzuhur. Dan rasanya tetap khusyuk.
Menurut Imam An-Nawawi, yang lebih penting dari waktu adalah:
Kesungguhan niat
Kerendahan hati
Kejujuran dalam berdoa
Beliau tidak ingin sholat hajat berubah jadi ritual kaku yang malah memberatkan orang awam. Islam, menurut beliau, tidak datang untuk mempersulit.
Pendapat Kedua: Imam Al-Ghazali – Malam Hari Lebih Tajam untuk Hajat Besar
Berbeda dengan Imam An-Nawawi, Imam Al-Ghazali lebih menekankan sisi batin dan kondisi hati. Dalam Ihya Ulumuddin, beliau menjelaskan bahwa malam hari—terutama sepertiga malam terakhir—adalah waktu paling kuat untuk bermunajat.
Menurut Imam Al-Ghazali, di malam hari:
Nafsu lebih tenang
Suara dunia melemah
Hati lebih jujur
Beliau tidak mengatakan sholat hajat di siang hari itu salah. Namun, untuk hajat besar—cita-cita hidup, perubahan nasib, atau perkara yang berat—malam hari memberikan kedalaman yang sulit didapat di waktu lain.
Saya merasakan betul pendapat ini. Ada perbedaan rasa antara sholat hajat siang dan malam. Di malam hari, doa terasa lebih mentah, lebih apa adanya. Kadang malah disertai air mata yang tidak direncanakan.
Imam Al-Ghazali melihat sholat hajat bukan sekadar gerakan, tapi proses tazkiyatun nafs—pembersihan jiwa. Dan malam hari adalah ruang paling jujur untuk itu.
Namun, beliau juga mengingatkan: jangan jadikan malam sebagai syarat mutlak sampai membuat orang meninggalkan sholat hajat sama sekali. Ini poin penting yang sering dilupakan.
Pengalaman Pribadi: Antara Siang dan Malam
Saya menjalani sholat hajat bertahun-tahun. Tidak setiap hari. Kadang rutin, kadang bolong. Ada masa rajin, ada masa futur. Tapi dari semua itu, saya belajar satu hal:
Allah tidak menilai jam di dinding, tapi isi hati di dada.
Ada sholat hajat malam yang khusyuk tapi hajat belum terkabul. Ada juga sholat hajat siang yang sederhana tapi pintu rezeki terbuka pelan-pelan.
Saya pernah salah niat. Dulu saya sholat hajat dengan nada menuntut. Seolah berkata, “Ya Allah, saya sudah sholat, sekarang giliran Engkau.” Dan hasilnya nihil.
Setelah niat diperbaiki—dari menuntut jadi meminta—perlahan hidup berubah. Tidak instan, tapi nyata.
Apakah Sholat Hajat Harus Dua Rakaat?
Mayoritas ulama sepakat minimal dua rakaat. Tapi lagi-lagi, jangan terjebak angka. Ada ulama yang membolehkan lebih, ada yang menganjurkan dua rakaat saja agar tidak memberatkan.
Saya sendiri hampir selalu dua rakaat. Fokus, tidak terburu-buru. Bacaannya kadang panjang, kadang pendek. Pernah juga salah bacaan, tapi lanjut saja. Allah bukan dosen yang lagi mengoreksi skripsi.
Yang penting, selesai sholat:
Angkat tangan
Akui kelemahan
Sampaikan hajat dengan bahasa sendiri
Tidak harus puitis. Tidak harus bahasa Arab. Allah paham bahasa hati, bahkan yang belepotan.
Kesimpulan dari Orang yang Pernah Bergantung pada Sholat Hajat
Kalau Anda bertanya, “Kapan waktu terbaik sholat hajat?”
Jawaban jujur saya: saat Anda paling merasa butuh kepada Allah.
Pendapat Imam An-Nawawi mengajarkan kita untuk tidak mempersulit ibadah. Pendapat Imam Al-Ghazali mengajarkan kita untuk memperdalam rasa. Dua-duanya benar, tergantung kondisi kita.
Saya menggapai cita-cita bukan karena sholat hajat semata, tapi karena sholat hajat mengubah cara saya memandang hidup. Dari sombong jadi rendah, dari menuntut jadi berharap.
Dan mungkin itu inti sholat hajat yang sering luput kita pahami.
Bukan soal cepat atau lambat terkabul, tapi soal siapa diri kita setelah sujud itu.
Jika hari ini hidup terasa berat, jangan tunggu malam kalau tidak sanggup. Jangan tunggu sempurna. Sholatlah. Minta. Menangis kalau perlu. Salah ketik doa pun tak masalah, Allah tetap mendengar.
Karena sholat hajat bukan milik orang suci.
Ia milik orang yang sedang berjuang.

Posting Komentar